Kisah Walisongo – Jika kita mempelajari sejarah penyebaran kebudayaan islam
di nusantara khususnya pulau jawa, maka tidak lepas dari kisah-kisah para
sembilan walisongo. Karena Walisongo merupakan simbol penyebaran
Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Pada era tersebut, merupakan masa/era
berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya nusantara yang kemudian
digantikan dengan kebudayaan islam. Pelopor atau Tokoh pendahulu walisongo
yaitu Syekh Jumadil Qubro yang merupakan anak dari seorang Putri Kelantan
Tua/Putri Saadong II yaitu Puteri Selindung Bulan.
Selain walisongo, sebenarnya
banyak tokoh-tokoh yang ikut berperan aktif dalam penyebaran islam di
nusantara, namun peranan walisongo sangat begitu besar dibanding tokoh-tokoh
yang lain, sehingga membuat para walisongo memiliki nilai plus dan lebih banyak
disebut namanya dalam sejarah penyebaran islam di Jawa.
Dalam kisah-kisah walisongo,
disebutkan bahwa para sembilan wali tidak hidup pada saat yang persis
bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam
ikatan darah juga dalam hubungan guru- murid. Masing-masing tokoh tersebut
mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik
Ibrahim yang menempatkan diri sebagai ” tabib” bagi Kerajaan Hindu Majapahit;
Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai “paus dari Timur” hingga Sunan
Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat
dipahami masyarakat Jawa – yakni nuansa Hindu dan Budha.
Pesan Sponsor
Untuk mempelajari secara lengkap
tentang sejarah walisongo serta kisah-kisah para sembilan walisanga,
sengaja duniabaca.com kutip langsung dari wikipedia dan berbagai sumber lain,
sebagai penambah ilmu pengetahuan kita tentang dunia sejarah.
KISAH DAN SEJARAH WALISONGO LENGKAP
- Pengertian/Arti Walisongo
- Sejarah Walisongo
- Tokoh Pendahulu Walisongo
- Teori Keturunan Hadramaut
- Teori Keturunan Cina
- Sumber Tertulis
- Refferensi
Ada beberapa pendapat mengenai arti
Walisongo. Pertama adalah wali yang sembilan, yang menandakan jumlah wali yang
ada sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa
kata songo/sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia.
Pendapat lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti
tempat.
Pendapat lain yang mengatakan bahwa
Walisongo adalah sebuah majelis dakwah yang pertama kali didirikan oleh Sunan
Gresik (Maulana Malik Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi (808 Hijriah). Saat itu,
majelis dakwah Walisongo beranggotakan Maulana Malik Ibrahim sendiri, Maulana
Ishaq (Sunan Wali Lanang), Maulana Ahmad Jumadil Kubro (Sunan Kubrawi); Maulana
Muhammad Al-Maghrabi (Sunan Maghribi); Maulana Malik Isra’il (dari Champa),
Maulana Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanuddin, Maulana ‘Aliyuddin, dan Syekh
Subakir.
Dari nama para Walisongo tersebut,
pada umumnya terdapat sembilan nama yang dikenal sebagai anggota Walisongo yang
paling terkenal, yaitu:
1. Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
2. Sunan Ampel atau Raden Rahmat
3. Sunan Drajat atau Raden Qasim
4. Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim
5. Sunan Kudus atau Ja’far Shadiq
6. Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin
7. Sunan Muria atau Raden Umar Said
8. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah
9. Sunan Kalijaga atau Raden Said
1. Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
2. Sunan Ampel atau Raden Rahmat
3. Sunan Drajat atau Raden Qasim
4. Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim
5. Sunan Kudus atau Ja’far Shadiq
6. Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin
7. Sunan Muria atau Raden Umar Said
8. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah
9. Sunan Kalijaga atau Raden Said
Para Walisongo adalah intelektual
yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam
beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari
kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan,
hingga ke pemerintahan.
Menurut buku Haul Sunan Ampel Ke-555
yang ditulis oleh KH. Mohammad Dahlan,[1] majelis dakwah yang secara umum
dinamakan Walisongo, sebenarnya terdiri dari beberapa angkatan. Para Walisongo
tidak hidup pada saat yang persis bersamaan, namun satu sama lain mempunyai
keterkaitan erat, baik dalam ikatan darah atau karena pernikahan, maupun dalam
hubungan guru-murid. Bila ada seorang anggota majelis yang wafat, maka
posisinya digantikan oleh tokoh lainnya:
- Angkatan ke-1 (1404 – 1435 M), terdiri dari Maulana
Malik Ibrahim (wafat 1419), Maulana Ishaq, Maulana Ahmad Jumadil Kubro,
Maulana Muhammad Al-Maghrabi, Maulana Malik Isra’il (wafat 1435), Maulana
Muhammad Ali Akbar (wafat 1435), Maulana Hasanuddin, Maulana ‘Aliyuddin,
dan Syekh Subakir atau juga disebut Syaikh Muhammad Al-Baqir.
- Angkatan ke-2 (1435 – 1463 M), terdiri dari Sunan Ampel
yang tahun 1419 menggantikan Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq (wafat
1463), Maulana Ahmad Jumadil Kubro, Maulana Muhammad Al-Maghrabi, Sunan
Kudus yang tahun 1435 menggantikan Maulana Malik Isra’il, Sunan Gunung Jati
yang tahun 1435 menggantikan Maulana Muhammad Ali Akbar, Maulana
Hasanuddin (wafat 1462), Maulana ‘Aliyuddin (wafat 1462), dan Syekh
Subakir (wafat 1463).
- Angkatan ke-3 (1463 – 1466 M), terdiri dari Sunan
Ampel, Sunan Giri yang tahun 1463 menggantikan Maulana Ishaq, Maulana
Ahmad Jumadil Kubro (wafat 1465), Maulana Muhammad Al-Maghrabi (wafat
1465), Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang yang tahun 1462
menggantikan Maulana Hasanuddin, Sunan Derajat yang tahun 1462
menggantikan Maulana ‘Aliyyuddin, dan Sunan Kalijaga yang tahun 1463
menggantikan Syaikh Subakir.
- Angkatan ke-4 (1466 – 1513 M, terdiri dari Sunan Ampel
(wafat 1481), Sunan Giri (wafat 1505), Raden Fattah yang pada tahun 1465
mengganti Maulana Ahmad Jumadil Kubra, Fathullah Khan (Falatehan) yang
pada tahun 1465 mengganti Maulana Muhammad Al-Maghrabi, Sunan Kudus, Sunan
Gunung Jati, Sunan Bonang, Sunan Derajat, dan Sunan Kalijaga (wafat 1513).
- Angkatan ke-5 (1513 – 1533 M), terdiri dari Syekh Siti
Jenar yang tahun 1481 menggantikan Sunan Ampel (wafat 1517), Raden Faqih
Sunan Ampel II yang ahun 1505 menggantikan kakak iparnya Sunan Giri, Raden
Fattah (wafat 1518), Fathullah Khan (Falatehan), Sunan Kudus (wafat 1550),
Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang (wafat 1525), Sunan Derajat (wafat 1533), dan
Sunan Muria yang tahun 1513 menggantikan ayahnya Sunan Kalijaga.
- Angkatan ke-6 (1533 – 1546 M), terdiri dari Syekh Abdul
Qahhar (Sunan Sedayu) yang ahun 1517 menggantikan ayahnya Syekh Siti
Jenar, Raden Zainal Abidin Sunan Demak yang tahun 1540 menggantikan
kakaknya Raden Faqih Sunan Ampel II, Sultan Trenggana yang tahun 1518
menggantikan ayahnya yaitu Raden Fattah, Fathullah Khan (wafat 1573),
Sayyid Amir Hasan yang tahun 1550 menggantikan ayahnya Sunan Kudus, Sunan
Gunung Jati (wafat 1569), Raden Husamuddin Sunan Lamongan yang tahun 1525
menggantikan kakaknya Sunan Bonang, Sunan Pakuan yang tahun 1533
menggantikan ayahnya Sunan Derajat, dan Sunan Muria (wafat 1551).
- Angkatan ke-7 (1546- 1591 M), terdiri dari Syaikh Abdul
Qahhar (wafat 1599), Sunan Prapen yang tahun 1570 menggantikan Raden
Zainal Abidin Sunan Demak, Sunan Prawoto yang tahun 1546 menggantikan
ayahnya Sultan Trenggana, Maulana Yusuf cucu Sunan Gunung Jati yang pada
tahun 1573 menggantikan pamannya Fathullah Khan, Sayyid Amir Hasan,
Maulana Hasanuddin yang pada tahun 1569 menggantikan ayahnya Sunan Gunung
Jati, Sunan Mojoagung yang tahun 1570 menggantikan Sunan Lamongan, Sunan
Cendana yang tahun 1570 menggantikan kakeknya Sunan Pakuan, dan Sayyid
Shaleh (Panembahan Pekaos) anak Sayyid Amir Hasan yang tahun 1551
menggantikan kakek dari pihak ibunya yaitu Sunan Muria.
- Angkatan ke-8 (1592- 1650 M), terdiri dari Syaikh Abdul
Qadir (Sunan Magelang) yang menggantikan Sunan Sedayu (wafat 1599), Baba
Daud Ar-Rumi Al-Jawi yang tahun 1650 menggantikan gurunya Sunan Prapen,
Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir) yang tahun 1549 menggantikan Sultan
Prawoto, Maulana Yusuf, Sayyid Amir Hasan, Maulana Hasanuddin, Syekh
Syamsuddin Abdullah Al-Sumatrani yang tahun 1650 menggantikan Sunan
Mojoagung, Syekh Abdul Ghafur bin Abbas Al-Manduri yang tahun 1650
menggantikan Sunan Cendana, dan Sayyid Shaleh (Panembahan Pekaos).
Syekh Jumadil Qubro adalah Maulana
Ahmad Jumadil Kubra bin Husain Jamaluddin bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin
Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali
Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir
bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir
bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi
Muhammad Rasulullah Syekh Jumadil Qubro adalah putra Husain Jamaluddin dari
isterinya yang bernama Puteri Selindung Bulan (Putri Saadong II/ Putri Kelantan
Tua). Tokoh ini sering disebutkan dalam berbagai babad dan cerita rakyat
sebagai salah seorang pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa.
Makamnya terdapat di beberapa tempat
yaitu di Semarang, Trowulan, atau di desa Turgo (dekat Pelawangan), Yogyakarta.
Belum diketahui yang mana yang betul-betul merupakan kuburnya.
Walaupun masih ada pendapat yang
menyebut Walisongo adalah keturunan Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat
lainnya, namun tampaknya tempat-tampat tersebut lebih merupakan jalur
penyebaran para mubaligh daripada merupakan asal-muasal mereka yang sebagian
besar adalah kaum Sayyid atau Syarif. Beberapa argumentasi yang diberikan oleh
Muhammad Al Baqir, dalam bukunya Thariqah Menuju Kebahagiaan, mendukung bahwa
Walisongo adalah keturunan Hadramaut (Yaman):
# L.W.C van den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan riset pada 1884-1886, dalam bukunya Le Hadhramout et les colonies arabes dans l’archipel Indien (1886)[5] mengatakan:
# L.W.C van den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan riset pada 1884-1886, dalam bukunya Le Hadhramout et les colonies arabes dans l’archipel Indien (1886)[5] mengatakan:
”Adapun hasil nyata dalam penyiaran
agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-orang Sayyid Syarif. Dengan
perantaraan mereka agama Islam tersiar di antara raja-raja Hindu di Jawa dan
lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain Hadramaut
(yang bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak meninggalkan
pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (kaum Sayyid Syarif) adalah
keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).”
# Van Den Berg juga menulis dalam
buku yang sama (hal 192-204):
”Pada abad ke-15, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu sesudah masa kerajaan Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan penduduk, dan sebagian mereka mempuyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat dengan pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar Hindu di kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena sebagian besar mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW). Orang-orang Arab Hadramawt (Hadramaut) membawa kepada orang-orang Hindu pikiran baru yang diteruskan oleh peranakan-peranakan Arab, mengikuti jejak nenek moyangnya.”
”Pada abad ke-15, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu sesudah masa kerajaan Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan penduduk, dan sebagian mereka mempuyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat dengan pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar Hindu di kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena sebagian besar mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW). Orang-orang Arab Hadramawt (Hadramaut) membawa kepada orang-orang Hindu pikiran baru yang diteruskan oleh peranakan-peranakan Arab, mengikuti jejak nenek moyangnya.”
Pernyataan van den Berg spesifik
menyebut abad ke-15, yang merupakan abad spesifik kedatangan atau kelahiran
sebagian besar Walisongo di pulau Jawa. Abad ke-15 ini jauh lebih awal dari
abad ke-18 yang merupakan saat kedatangan gelombang berikutnya, yaitu kaum
Hadramaut yang bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad, Alaydrus, Alatas, Al
Jufri, Syihab, Syahab dan banyak marga Hadramaut lainnya.
# Hingga saat ini umat Islam di
Hadramaut sebagian besar bermadzhab Syafi’i, sama seperti mayoritas di
Srilangka, pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar), Malaysia dan Indonesia.
Bandingkan dengan umat Islam di Uzbekistan dan seluruh Asia Tengah, Pakistan
dan India pedalaman (non-pesisir) yang sebagian besar bermadzhab Hanafi.
# Kesamaan dalam pengamalan madzhab
Syafi’i bercorak tasawuf dan mengutamakan Ahlul Bait; seperti mengadakan
Maulid, membaca Diba & Barzanji, beragam Shalawat Nabi, doa Nur Nubuwwah
dan banyak amalan lainnya hanya terdapat di Hadramaut, Mesir, Gujarat, Malabar,
Srilangka, Sulu & Mindanao, Malaysia dan Indonesia. Kitab fiqh Syafi’i
Fathul Muin yang populer di Indonesia dikarang oleh Zainuddin Al Malabary dari
Malabar, isinya memasukkan pendapat-pendapat baik kaum Fuqaha maupun kaum Sufi.
Hal tersebut mengindikasikan kesamaan sumber yaitu Hadramaut, karena Hadramaut
adalah sumber pertama dalam sejarah Islam yang menggabungkan fiqh Syafi’i
dengan pengamalan tasawuf dan pengutamaan Ahlul Bait.
# Di abad ke-15, raja-raja Jawa yang
berkerabat dengan Walisongo seperti Raden Patah dan Pati Unus sama-sama
menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar tersebut juga merupakan gelar yang sering
dikenakan oleh keluarga besar Jamaluddin Akbar di Gujarat pada abad ke-14, yaitu
cucu keluarga besar Azhamat Khan (atau Abdullah Khan) bin Abdul Malik bin Alwi,
seorang anak dari Muhammad Shahib Mirbath ulama besar Hadramaut abad ke-13.
Keluarga besar ini terkenal sebagai mubaligh musafir yang berdakwah jauh hingga
pelosok Asia Tenggara, dan mempunyai putra-putra dan cucu-cucu yang banyak
menggunakan nama Akbar, seperti Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali Akbar, Nuralam
Akbar dan banyak lainnya.
Sejarawan Slamet Muljana mengundang
kontroversi dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa (1968), dengan menyatakan
bahwa Walisongo adalah keturunan Tionghoa Indonesia. Pendapat tersebut
mengundang reaksi keras masyarakat yang berpendapat bahwa Walisongo adalah
keturunan Arab-Indonesia. Pemerintah Orde Baru sempat melarang terbitnya buku
tersebut.
Referensi-referensi yang menyatakan
dugaan bahwa Walisongo berasal dari atau keturunan Tionghoa sampai saat ini
masih merupakan hal yang kontroversial. Referensi yang dimaksud hanya dapat
diuji melalui sumber akademik yang berasal dari Slamet Muljana, yang merujuk
kepada tulisan Mangaraja Onggang Parlindungan, yang kemudian merujuk kepada
seseorang yang bernama Resident Poortman. Namun, Resident Poortman hingga
sekarang belum bisa diketahui identitasnya serta kredibilitasnya sebagai
sejarawan, misalnya bila dibandingkan dengan Snouck Hurgronje dan L.W.C. van
den Berg. Sejarawan Belanda masa kini yang banyak mengkaji sejarah Islam di
Indonesia yaitu Martin van Bruinessen, bahkan tak pernah sekalipun menyebut
nama Poortman dalam buku-bukunya yang diakui sangat detail dan banyak dijadikan
referensi.
Salah satu ulasan atas tulisan H.J.
de Graaf, Th.G.Th. Pigeaud, M.C. Ricklefs berjudul Chinese Muslims in Java in
the 15th and 16th Centuries adalah yang ditulis oleh Russell Jones. Di sana, ia
meragukan pula tentang keberadaan seorang Poortman. Bila orang itu ada dan
bukan bernama lain, seharusnya dapat dengan mudah dibuktikan mengingat
ceritanya yang cukup lengkap dalam tulisan Parlindungan.
1. Terdapat beberapa sumber tertulis
masyarakat Jawa tentang Walisongo, antara lain Serat Walisanga karya
Ranggawarsita pada abad ke-19, Kitab Walisongo karya Sunan Dalem (Sunan Giri
II) yang merupakan anak dari Sunan Giri, dan juga diceritakan cukup banyak
dalam Babad Tanah Jawi.
2. Mantan Mufti Johor Sayyid `Alwî
b. Tâhir b. `Abdallâh al-Haddâd (meninggal tahun 1962) juga meninggalkan
tulisan yang berjudul Sejarah perkembangan Islam di Timur Jauh (Jakarta:
Al-Maktab ad-Daimi, 1957). Ia menukil keterangan diantaranya dari Haji `Ali bin
Khairuddin, dalam karyanya Ketrangan kedatangan bungsu (sic!) Arab ke tanah
Jawi sangking Hadramaut.
3. Dalam penulisan sejarah para
keturunan Bani Alawi seperti al-Jawahir al-Saniyyah oleh Sayyid Ali bin Abu
Bakar Sakran, ‘Umdat al-Talib oleh al-Dawudi, dan Syams al-Zahirah oleh Sayyid
Abdul Rahman Al-Masyhur; juga terdapat pembahasan mengenai leluhur Sunan Gunung
Jati, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Bonang dan Sunan Gresik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar